Cabang cabang Iman

Cabang-cabang iman bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah.
Dalil cabang-cabang iman adalah hadits Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, I/63)
Beliau Shalallaahu alaihi wasalam menjelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.
Lalu, di antara ke dua cabang tersebut terdapat cabang-cabang lain seperti cinta kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, cinta kepada saudara muslim seperti mencintai diri sendiri, jihad dan sebagainya. Beliau tidak menjelaskan cabang-cabang iman secara keseluruhan, maka para ulama berijtihad menetapkannya.
Al-Hulaimi, pe-ngarang kitab “Al-Minhaj” menghitungnya ada 77 cabang, sedangkan Al-Hafizh Abu Hatim Ibnu Hibban menghitungnya ada 79 cabang iman. Sebagian dari cabang-cabang iman itu ada yang berupa rukun dan ushul, yang dapat menghilangkan iman manakala ia ditinggalkan, seperti mengingkari adanya hari Akhir; dan sebagiannya lagi ada yang bersifat furu’, yang apabila meninggalkannya tidak membuat hilang-nya iman, sekalipun tetap menurunkan kadar iman dan membuat fasik, seperti tidak memuliakan tetangga.
Terkadang pada diri seseorang terdapat cabang-cabang iman dan juga cabang-cabang nifak (kemunafikan). Maka dengan cabang-cabang nifak itu ia berhak mendapatkan siksa, tetapi tidak kekal di Neraka, karena di hatinya masih terdapat cabang-cabang iman. Siapa yang seperti ini kondisinya maka ia tidak bisa disebut sebagai mukmin yang mutlak, yang terkait dengan janji-janji tentang Surga, rahmat di Akhirat dan selamat dari siksa. Sementara orang-orang mukmin yang mutlak juga berbeda-beda dalam tingkatannya.
Wallahu a’lam!
Lebih baru Lebih lama