Mendasarkan pengetahuan pada empirisme (hissiyyat). Dari sini mulai melakukan pengujian validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang- bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang- bintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.

Ternyata, fakta data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sidut pandang pendekatan rasionalisme terjadi klaim Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional). Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal) dan hadits (baru) tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh - contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankah pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?

Namun, penganut empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan: berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?

Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati”.

Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al- Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) diluar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman- pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.

Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca, apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya sedang bermimpi, menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi pikiran Anda melayang kemana-mana sehingga Anda sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?

Kebenaran dari manusia adalah Kebenaran relatif, asumsi, subyektif, sedangkan kebenaran dari Allah ialah Kebenatan Absolut. Mutlak. 

Wassalam,  pak Noor