Puncak Kegalauan Keberadaan Tuhan Bagi Sang Hujjatul Islam

Bersama KH Asep, lelah tetap ramah 











>>>
Imam Al-Ghazali merupakan salah satu pemikir terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Ia dikenal sebagai Hujjatul Islam, julukan yang mencerminkan kedalaman ilmu dan kontribusinya terhadap pembelaan Islam dari tantangan filsafat dan skeptisisme. Namun, di balik pencapaiannya, terdapat pergulatan batin yang mendalam. Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, Al-Ghazali mengisahkan keraguan yang mengguncang fondasi keimanannya, hingga ia bertanya pada dirinya sendiri: “Jangan-jangan Tuhan yang aku sembah adalah hasil pikiranku sendiri.” Pertanyaan ini tidak hanya mencerminkan keraguan eksistensial, tetapi juga menjadi pintu menuju penyucian makna iman dan ketuhanan.

Tinjauan Pustaka:
Kajian mengenai krisis spiritual Al-Ghazali telah banyak dibahas. Montgomery Watt (1953) menekankan bahwa keraguan Al-Ghazali merupakan fase penting dalam sejarah filsafat Islam karena membuka ruang kritik terhadap pendekatan rasional semata. Farid Jabre (1958) menyebut pengalaman spiritual Al-Ghazali sebagai bentuk “epistemologi iman”, yaitu pengetahuan yang diperoleh bukan semata melalui akal, melainkan melalui penyucian batin dan pengalaman transenden.

Metodologi:
Materi Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis teks terhadap dua karya utama Al-Ghazali: al-Munqidz min al-Dhalal dan Minhajul ‘Abidin. 
Data dikaji dengan metode filosofis dan pendekatan sufistik untuk menangkap dimensi batin dan filosofis pemikiran Al-Ghazali.

Pembahasan Singkat:

1. Krisis Keilmuan dan Keraguan Eksistensial
Al-Ghazali pada masa awalnya mengandalkan akal dan logika untuk memahami Tuhan. Namun, dalam al-Munqidz, ia menyadari keterbatasan nalar dalam menyentuh hakikat ilahiah. Ia menulis:

“Ilmu-ilmu yang kupelajari tidak memberikan ketenteraman batin… maka aku mulai meragukan segala hal.”

2. Titik Balik: Uzlah dan Perjalanan Spiritual
Ia meninggalkan kedudukannya sebagai pengajar di Baghdad, memilih menyepi dan berkelana, demi menemukan kembali Tuhan bukan sebagai konsep, melainkan sebagai pengalaman.

3. Tuhan sebagai Realitas Transenden
Dalam Minhajul ‘Abidin, Al-Ghazali menguraikan bahwa ibadah yang sejati hanya dapat dilakukan oleh hati yang benar-benar yakin kepada Tuhan. Keyakinan tersebut, menurutnya, adalah cahaya yang ditanamkan langsung oleh Allah dalam jiwa hamba-Nya (nur ilahi).

4.  Epistemology Al-Ghazali: Antara Akal dan Intuisi Ilahiah
Akhirnya, Al-Ghazali tidak menolak akal, tetapi ia menempatkannya sebagai jalan awal yang harus disempurnakan dengan penyucian jiwa dan mujahadah, sehingga seseorang dapat menerima cahaya kebenaran secara batiniah.

Kesimpulan:
Pergulatan Imam Al-Ghazali menjadi pelajaran penting tentang keterbatasan manusia dalam memahami Tuhan hanya dengan akal. 
Kegalauan intelektualnya justru membawanya pada tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Pemikirannya menunjukkan bahwa iman sejati lahir dari perpaduan antara ilmu, pengalaman, dan pencerahan hati. Maka, “Jangan-jangan Tuhan yang aku pikirkan bukanlah Tuhan yang sebenarnya” adalah ungkapan puncak kerendahan hati seorang pencari Tuhan sejati.

Wallohu alam ( SwdNoor) 
Sawahan Sby

Lebih baru Lebih lama