Air Mata Ibrahim: Cinta Ayah yang Menyentuh Langit


Air Mata Ibrahim, Cinta Ayah yang Menyentuh Langit

Oleh: swdnoor


Ketika Seorang Ayah Mengajarkan Cinta yang Naik ke Langit

Tidak ada cinta yang lebih dalam dari cinta seorang ayah kepada anaknya. Tapi tidak ada pula cinta yang lebih tinggi dari cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ketika dua cinta itu bertemu, sejarah mencatatnya sebagai kisah paling menyayat—dan paling memuliakan—dalam hidup manusia.


Doa Seorang Ayah, Hadiah dari Langit


Puluhan tahun lamanya Nabi Ibrahim menanti seorang anak. Di usia senja, ia berdoa dengan hati penuh harap:

> رَبِّ هَبْ لِي مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh."
(QS. Ash-Shaffat: 100)


Allah menjawab dengan hadiah agung:

 فَبَشَّرْنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍ
"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat penyabar."
(QS. Ash-Shaffat: 101)

Ismail tumbuh menjadi anak yang tidak hanya saleh, tapi juga menjadi sahabat terbaik bagi sang ayah—dalam kerja, dalam ibadah, dan dalam cinta.

Perintah Itu Datang: Mimpi yang Mengguncang Jiwa


Di suatu malam, Ibrahim mendapat mimpi menyembelih Ismail. Sebagai seorang nabi, ia tahu: itu bukan sekadar mimpi. Itu perintah dari langit.

Namun lihatlah bagaimana Ibrahim, sebagai seorang ayah, tidak tergesa atau kasar. Ia ajak bicara anaknya dengan penuh cinta:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu."
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Dan Ismail—anak muda yang hatinya telah terhubung ke langit—menjawab dengan tenang:

"Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Tafsir Fakhruddin ar-Razi menyebut dialog ini sebagai "mahkota akhlak dan ketaatan antara dua jiwa suci".


Detik-Detik yang Menegangkan Malaikat


Ibrahim membaringkan Ismail. Pisau pun nyaris menyentuh kulitnya.

 فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya..."
(QS. Ash-Shaffat: 103)

Langit pun berseru:

"Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu!"
(QS. Ash-Shaffat: 104–105)

Allah pun menggantikan Ismail dengan sembelihan agung:

 وَفَدَيْنَـٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
"Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar."
(QS. Ash-Shaffat: 107)

Menurut Sayyid Qutb, inilah momentum ketika penghambaan sejati menjelma: ketika hamba sudah tak memiliki apa-apa selain Allah.

Apa Ismail Kita Hari Ini?


Kita tidak lagi diperintahkan menyembelih anak. Tapi kita tetap diminta menyembelih "Ismail" dalam hidup kita—apapun yang terlalu kita cintai hingga menutupi wajah Allah dalam hati kita.

Imam Al-Ghazali mengatakan: "Hakikat qurban adalah memotong ego, bukan sekadar menyembelih domba."

Penutup 

Air mata Ibrahim bukan karena lemah. Tapi karena ia manusia—yang mencintai anaknya sepenuh jiwa. Namun di atas segalanya, ia mencintai Tuhannya tanpa syarat.

Semoga qurban kita tahun ini bukan hanya sekadar ritual tahunan, tapi perayaan cinta yang tertinggi: cinta yang membuat kita lebih ringan, lebih ikhlas, dan lebih dekat ke langit.

Lebih baru Lebih lama