Jejak Spiritualitas Lintas Zaman dan Relevansinya Sepanjang Masa
Qurban bukan sekadar ritual tahunan umat Islam, melainkan manifestasi historis dan spiritual yang merentang sejak masa Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan ekspresi puncak dari ketaatan dan cinta kepada Allah SWT, yang terus hidup dan menemukan relevansinya dalam dinamika sosial umat manusia sepanjang zaman. Tulisan ini mengkaji jejak syariat qurban dari perspektif historis-normatif, spiritualitas kenabian, hingga aktualisasinya dalam kehidupan modern berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama.
1. Qurban dalam Sejarah Awal Manusia
Tradisi pengorbanan telah dimulai sejak masa awal peradaban manusia. Al-Qur’an mencatat kisah Habil dan Qabil, dua putra Nabi Adam, sebagai peristiwa qurban pertama dalam sejarah manusia:
اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۚ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
"Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satu dari mereka dan tidak diterima dari yang lain. Ia berkata: 'Sungguh, aku akan membunuhmu!' Yang lain menjawab: 'Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.'"
(QS. Al-Mā’idah: 27)
Menurut Tafsir Ibn Kathir, Habil mempersembahkan domba terbaik dengan ikhlas, sedangkan Qabil mempersembahkan hasil pertaniannya dengan enggan. Ini menunjukkan bahwa niat dan ketakwaan menjadi ruh dari ibadah qurban.
2. Ibrahim dan Ismail: Simbol Ketundukan Sejati
Puncak spiritualitas qurban tergambar dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
"Maka ketika anak itu sampai pada (usia) sanggup berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!' Ia menjawab: 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang sabar.'"
(QS. As-Saffāt: 102)
Tafsir Al-Qurṭubī menyebut ayat ini sebagai lambang ketundukan total (taslīm) dari dua hamba Allah yang agung, di mana cinta kepada Allah mengalahkan cinta terhadap keluarga dan dunia.
3. Peneguhan Syariat Qurban dalam Islam
Peristiwa Ibrahim-Ismail menjadi dasar pensyariatan qurban dalam Islam. Allah SWT menegaskan:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
"Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar."
(QS. As-Saffāt: 107)
Qurban kemudian disyariatkan secara formal dalam Islam dan diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:
"مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ..."
"Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam pada Hari Nahr yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih hewan (qurban)..."
(HR. Tirmidzi no. 1493, dinilai hasan oleh al-Albani)
Menurut mazhab Hanafi, qurban bersifat wajib bagi yang mampu, sedangkan menurut mayoritas ulama lainnya, qurban adalah sunnah muakkadah—sangat dianjurkan dan tidak boleh ditinggalkan tanpa uzur.
4. Dimensi Sosial-Spiritual Qurban
Qurban bukan sekadar simbol ketaatan individual, tetapi juga sarana pemerataan ekonomi. Daging qurban dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, dan masyarakat umum, menumbuhkan solidaritas sosial. Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْ ۚ
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."
(QS. Al-Ḥajj: 37)
Tafsir Al-Marāghī menegaskan bahwa yang dinilai dari qurban bukan bentuk lahiriahnya, melainkan nilai spiritual dan moral yang menyertainya.
5. Aktualisasi Qurban di Era Modern
Di tengah dunia yang semakin materialistik, syariat qurban menjadi pengingat untuk melepas ego, kepentingan duniawi, dan keterikatan berlebihan pada harta. Menurut Imam Al-Ghazali:
"Qurban adalah latihan untuk memotong kelekatan pada dunia, bukan semata-mata memotong hewan."
(Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz 1)
Dalam konteks kekinian, qurban juga menjadi media pemberdayaan umat. Banyak lembaga filantropi menyalurkan hewan qurban ke daerah miskin dan pelosok negeri, menjadikan ibadah ini sebagai instrumen transformasi sosial.
Kesimpulan
Qurban bukan hanya ritual formal tahunan, melainkan warisan spiritual para nabi yang terus hidup dalam sejarah umat Islam. Ia mengajarkan makna ketaatan, kepasrahan, kasih sayang, dan solidaritas kemanusiaan. Dalam dunia yang terus berubah, nilai-nilai qurban tetap relevan: sebagai benteng spiritualitas dan jembatan sosial antar manusia.
Daftar Rujukan:
1. Al-Qur’an al-Karīm (Surah Al-Ma’idah, Ash-Shaffat, Al-Hajj)
2. Tafsir Ibn Kathir, Juz 3–7, Dar al-Fikr
3. Tafsir Al-Qurṭubī, Al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qur’ān
4. Tafsir Al-Marāghī, Dar Ihya al-turats
5. Imam Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
6. Hadis riwayat Tirmidzi no. 1493; riwayat Ibnu Majah, Abu Dawud
7. Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Daulah dan Fiqh al-Ibadah